Welllllll, sebenarnya ini cerpen yg dibikin dadakan gara2 ada tugas bahasa indonesia -_- Ceritanya acak adut, ga nyambung, garing, dll. Tapi, sengaja dipublish disini supaya kalau-kalau data2 cerpen saya ilang, saya ga usah susah2 bikin cerpen lagi -_- zz apadah
Aku Tidak Gila
Oleh : Anggi Rizky F
Kelas : XII-IPS-1
Kukirimkan secuwil rembulan sebentuk hati kepadamu sebagai bukti cintaku padamu. Semalah aku telah terbang ke langit dan mencuri secuwil rembulan yang kini kubungkus dalam sampul warna ungu. Semoga kau mau menerimanya. Dan jika nanti malam ada yang kehilangan rembulan, itulah rembulan yang kupersembahkan untukmu.
Tak terasa airmataku berguguran di atas kalimat-kalimat yang telah kutulis itu. Ya, aneh memang, karena kalimat yang kutulis itu sepertinya bukanlah rangkaian kalimat yang harus kutangisi. Tidak ada hal-hal berbau kesedihan yang kutulis didalam tulisan itu. Tapi, entah mengapa rasanya dadaku sesak sekali, sehingga airmataku dengan derasnya bercucuran diatas kalimat-kalimat itu, kalimat yang kutulis diatas kertas berwarna putih, dan rencananya akan kubungkus dengan amplop berwarna ungu tua. Aku sendiri tak tahu mengapa aku memilih warna ungu tua sebagai warna untuk amplopnya. Mungkin, menurutku warna ungu tua itu dapat menyimbolkan rasa kesepian karena ditinggalkan oleh seseorang yang sangat dicintai. Tapi entahlah, itu hanya dalam pandanganku saja. Yang jelas, kurasa warna ungu tua ini memang cocok untuk menyampul suratku kali ini. Karena, seperti yang telah aku bilang tadi, kalau warna ungu menurutku dapat menyimbolkan rasa kesepian karena ditinggalkan oleh seseorang yang sangat dicintai. Itulah perasaan yang sedang aku rasakan saat ini.
Sebenarnya, bukan kali ini saja aku menangisi kalimat-kalimat yang ‘rasanya’ manis seperti permen. Hampir setiap hari, aku membuat surat yang bertemakan sama, dan setelah itu aku selalu menangisinya. Aneh? Tentu saja. Mungkin kamu heran, mengapa aku bisa bertingkahlaku seperti ini. Entahlah, aku juga lupa sejak kapan tingkahku berubah menjadi aneh. Seingatku, kemarin-kemarin aku adalah seoang gadis manis berusia 17 tahun yang bernama Dina, selalu ceria, supel, dan selalu dikelilingi oleh teman-teman yang menyenangkan. Tak pernah aku menangis karena hal-hal sepele, dan aku juga tak suka dengan hal hal berbau melankolis. Oh ya, aku juga sangat dekat dengan ayah. Dekat sekali. Dan sebenarnya, ibuku telah meninggal beberapa tahun kemarin. Mungkin, karena kepergian ibuku-lah yang membuat hubunganku dengan ayah semakin dekat, terlalu dekat sepertinya, Karena ayah, aku selalu merasa bahagia, walaupun tanpa ibu lagi disisiku. Dimana ada ayah, disitu ada aku. Dimana ada aku, disitu ada ayah. Aku sangat bergantung kepadanya, dan aku sangat mencintainya. Eh, aku yakin kali ini kau akan merasa heran lagi, apa hubungannya antara surat yang kutangisi dengan menceritakan ayahku? Sudahlah, nanti aku akan menceritakannya.
Tapi,itu dulu. Kebahagiaan yang selalu menyelimutiku, semuanya berubah ketika suatu bencana besar tiba-tiba menghampiriku. Bencana yang membuat semua urat-urat nadiku serasa dipresto, ulu hatiku serasa dihantam palu besar, dan otakku seperti dicincang-cincang oleh kapak. Aku memang tidak memiliki seorang kekasih, tapi aku telah kehilangan sesosok laki-laki yang sangat aku cintai. Aku pernah putus cinta, aku pernah gagal dalam ulangan, dan aku juga pernah kehilangan sahabat yang telah pergi untuk selama-lamanya, tapi rasa sedih yang kurasakan saat itu, tidak sebanding dengan rasa sedih yang aku rasakan saat ini. Perih, perih sekali. Ibuku telah pergi, dan kini, aku sudah ditinggal pergi lagi oleh orang yang sangat penting untuk hidupku. Saat itu aku sudah tak bisa mengontrol diri. Otakku pecah, byarrrr! Kehilangan yang kurasakan saat ini benar-benar membuatku kesetanan. Saudaraku sudah melindungiku, tapi aku tak peduli dengan mereka. Aku tertawa, menangis tiba-tiba, lalu aku senyum, membanting semua barang yang aku lihat, dan aku menangis lagi. Saat aku kesal dan sedih, aku selalu menulis, dan selalu berbentuk surat. Semenjak kehilangan orang yang aku cintai, aku menjadi maniak menulis surat, dan semuanya tertuju untuk lelaki itu. Tapi aneh, kini aku sudah tak bisa merasakan jiwaku yang dulu lagi. Aku masih bisa menulis, membaca, dan mengingat semuanya. Tapi, entahlah, aku juga bingung mengapa aku jadi begini. Tapi yang pasti, semenjak jiwaku menjadi berubah, tiba-tiba aku dibawa oleh saudara-saudaraku ke suatu tempat yang memiliki ruang pucat dan pengap. Parahnya, aku ditinggalkan disana. Aku kesal! Mengapa aku ditinggal? Apa mereka menganggap aku gila? Tidak! Aku tidak gila! Ah, tapi tak apalah, lagian aku memang ingin sendiri saat itu, hingga saat ini.
Ah, astaga aku terlalu larut dalam bercerita. Kembali ke keadaanku saat ini. Kurasakan mataku sudah semakin berat untuk menangis, lelah sekali. Segera aku melipat kertas yang sudah kubasahi dengan air mata itu, lalu kumasukkan ke dalam amplop ungu. Aku tak menuliskan nama penerima di atas permukaan amplop, karena aku tak akan pernah bisa mengirimkan surat itu kepada orang yang sangat aku sayangi. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kalau tahu begitu, untuk apa aku menulis surat? Aaaaaaaaaaaah, aku bingung! Aku bingung Tuhan! Harus dengan cara apalagi agar aku bisa berbicara dengan lelaki yang aku sayangi lagi? Aku selalu berdoa, setiap detik aku berdoa. Tapi, aku benar-benar ingin berbicara dengannya, bercakap-cakap seperti dulu lagi. Aku selalu menulis surat, sudah berpuluh-puluh surat aku tulis untuk dirinya. Tapi, mengapa aku tak pernah bisa menyampaikan suratku itu? Dan mengapa aku tak pernah diizinkan untuk mengiriminya? Mengapa dia harus pergi, dan aku dibiarkan hidup sendiri di ruang pengap ini? Di ruang kosong dan pengap ini, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan aku mengurung diri, lebih tepatnya dikurung, sendiri, tidak sekolah karena aku sudah persetan dengan sekolah, hanya ditemati kertas, amplop, dan pulpen-pulpen yang berserakan. Aku tak mengerti mengapa aku bisa berada di ruangan ini. Aku gila, ah tidak, aku tidak gila! Tapi aku kalap! Sangat kalap! Seketika jarum kejiwaanku serasa berhenti. Kulempar semua surat yang pernah kutulis, kugigit pulpen-pulpen hingga ada yang remuk, semua yang aku lihat, aku banting. Aaaaaaaaah, sebenarnya aku ini kenapa? Gila? Tidak, aku merasa tidak gila. Jadi aku ini kenapa?
****
Hari esok telah tiba. Setelah kemarin aku lelah mengamuk, tiba-tiba aku terlelap dan saat aku membuka mata, ternyata hari sudah pagi. Tapi sebelum aku terlelap, sepertinya aku merasa seseorang datang ke ruanganku, dan menusukkan suatu cairan ke dalam tanganku hingga aku terlelap. Dan, disaat aku membuka mata juga, kudapati kedua tanganku sudah diikat pada kedua sisi ranjangku. Pelan-pelan kudengar langkah seseorang menuju ke kamarku. Oh dokter ternyata. Disaat dokter datang, tiba-tiba jarum kejiwaanku kembali berdetak lagi. Ah, aku baru ingat semuanya. Aku baru ingat alasan mengapa aku bisa berada di ruangan pengap ini. Aku baru ingat semua cerita yang pernah terjadi.
Aku baru sadar, semenjak ayahku meninggal, aku benar-benar kehilangan sebagian rasa kewarasanku. Tapi, aku tidak gila! Aku bisa melakukan apapun! Tapi, disaat aku mulai ditempatkan di ruang pengap ini, aku memang merasa aneh. Lama kelamaan, aku mengetahui alasan mengapa aku bisa ditempatkan disini. Seingatku, dokter pernah berkata kepadaku dan keluargaku, kalau aku terkena penyakit electra complex, dimana katanya aku memang mengidap kelainan, karena aku mencintai ayahku lebih dari aku mencintai ibuku. Aku sangat cinta ayahku, tak bisa sedetikpun aku hidup tanpa dia. Ayah pula yang mulai mengenaliku dengan dunia surat menyurat, sehingga akupun menjadi gemar menulis surat. Maka dari itu, disaat ayah meninggal, aku menjadi gila. GILA! Mereka bilang begitu, sehingga aku ditempatkan di ruang pengap rumah sakit jiwa ini. Tapi, aku merasa tidak gila! Buktinya aku masih bisa bercerita dan menulis surat. Tapi, seperti yang aku katakan sebelumnya, alasan mengapa aku selalu menangisi kalimat-kalimat manis, mengapa aku gampang sekali merubah emosi,adalah karena penyakit electra complexku ini, yang menyebabkan jiwaku acak-acakan seperti sampah. Dan karena aku telah patah hati, sangat patah hati karena ayah tak pernah mengijinkanku untuk bercakap-cakap dan berkirim surat lagi padanya.
Yah, mungkin, sekarang kau sudah tahu semua alasan mengapa aku menjadi begini.